[FF/LOVE IN THE ICE/1S]


ORIGINAL STORY : TITAH RAHAYU P. <HWANG HYE MIN>

EDITOR : VINA KAMILA P. <KIM MI YOUNG>

<><><><><>><>

Ini FF lanjutan dari A TRAGIC LOVE. Authornya lagi nge-Fans sama Dong Hae. ^^. For my umma~ Thank you so much ><

——————————

“ Sebenarnya apa yang Tuhan inginkan???

Memerangkap tiga anak manusia dalam satu ikatan cinta.

Akankah kau menyerah untuk meluluhkan hatinya

yang telah membeku layaknya sebuah es??”

——————————

Donghae’s POV

Aku menatap Hye Min yang pandangannya tengah terarah ke luar jendela. Dapat kutebak bahwa saat ini ia tengah memikirkan sosok Kim Junsu. Semenjak kepergian Junsu, Hye Min menjadi sosok yang berbeda. Hye Min yang sekarang adalah gadis pendiam yang suka melamunkan mantan kekasihnya yang telah meninggal. Sebenarnya, Hye Min dan aku sudah menjadi sepasang suami isteri. Keluarga Hwang memintaku untuk menjaga puteri semata wayang mereka, sementara keluargaku menyuruh kami berdua agar cepat menikah. Dan benar saja dua minggu selepas meninggalnya Junsu, pernikahan kami dilaksanakan. Aku menyetujui rencana dari kedua belah pihak karena diriku amat menyayangi Hye Min, dan aku ingin membuatnya melupakan Kim Junsu. Sementara Hye Min… Ia sama sekali tidak menolak pernikahan kami, namun ia juga tak menyetujui.. ia tetap diam sambil meremas kalung pemberian Junsu.

Dan kini, tepat dua bulan lamanya kami menikah. Dan selama dua bulan-lah aku tersiksa oleh perasaan cintaku sendiri. Aku menyadari bahwa hati Hye Min hanyalah untuk Junsu, bukan untukku. Semenjak kepergian mantan kekasihnya itu, Hye Min menjadi sangat dingin terhadapku. Meskipun raganya adalah milikku seutuhnya, namun mengapa aku tak dapat meraih hatinya??  Rasa frustasi sempat menggerayangiku saat menyadari hal ini, akan tetapi hanya Hye Min-lah gadis yang kucintai. Sehingga berat bagiku untuk meninggalkannya.

Kami berdua kini tinggal di apartemenku dengan dua orang pembantu yang senantiasa melayani kami. Setiap malam, kulihat Hye Min keluar dari kamarnya dan menatap keluar jendela sambil mendekap erat foto Junsu. Hal itu semakin membuatku frustasi, frustasi karena seolah Junsu selalu membayangi Hye Min sehingga membuat gadis itu tak melirikku sama sekali. Aku hanya seperti sebuah mesin, mesin yang diciptakan untuk membuat Hwang Hye Min berhenti memikirkan Junsu. Dan hatiku menjadi semakin sakit saat menyadari hal itu.

Malam ini hujan mengguyur Seoul dengan derasnya dan saat kutengok Hye Min, ia sedang berdiri didepan jendela sambil mendekap erat foto Junsu, kebiasaan yang sangat membuatku muak! Namun, kutahan rasa muakku itu dengan berjalan keruang tengah. Saat aku melewatinya, kudengar isak tangis yang menggema pelan. Dan saat kutatap Hye Min, ia sedang menangis sehingga membuat bahunya bergetar pelan. Kuhampiri tubuhnya dengan pelan dan kudekap pula tubuhnya, seolah memberinya banyak kehangatan. Namun, begitu kecewanya diriku saat Hye Min menampik pelukanku.

“Lepaskan aku, aku hanya ingin Junsu-ku.. Lepas! Lepas!,” Ia meronta sambil memukuli dadaku yang bidang namun semakin kueratkan pelukanku padanya dan kurasakan Hye Min sudah kembali tenang.

Hye Min, sampai kapan kau akan terus seperti ini?  Sampai kapan kau akan terus memikirkan Junsu dan mengacuhkan diriku? Kupeluk tubuhnya dan mengelus rambut panjangnya yang sedikit bergelombang.

OOOOOOOOooooooOOOOOOO

 

Hari sudah menjelang pagi dan matahari sudah  mengintip nakal melalui jendela kamarku. Dengan sedikit malas, kulangkahkan kedua kakiku menuju kamar mandi dan mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluan kuliahku. Ya, aku masih berkuliah namun bukan di jurusan sastra prancis lagi. Ayahku menyarankanku untuk mengambil jurusan hukum.

Kurebahkan tubuhku yang telah terpampang jelas tanpa sehelai benang pun di Bathup. Air dari shower mengucur deras mengguyur  sekuruh permukaan kulitku dan merembes melalui pori-poriku. Hidup dengan seorang gadis yang tidak mencintaiku membuatku sakit. Sakit karena harus tersiksa dengan tingkah lakunya setiap hari dan sakit karena harus menahan nafsuku untuk tidak menyentuhnya, sekalipun kami sudah menjadi sepasang suami isteri. Tanganku menggerayangi dadaku sendiri sambil membayangkan bahwa Hye Min yang melakukan hal itu. Namun, aku segera tersadar dan berhenti merangsang diriku sendiri karena takut akan terbawa dan terkecewakan oleh fantasiku.

Setelah selesai membersihkan tubuh, aku pun melenggang menuju kamar dan segera berpakaian. Kemudian kulangkahkan lagi kakiku menuju meja makan untuk menikmati sarapan yang telah disiapkan oleh kedua pembantuku, Yoona dan Yuri. Kulihat Hye Min sedang duduk di meja makan dengan rambut dikuncir dan ia pun tak lupa untuk menjepit bagian atas rambutnya, sehingga penampilannya terlihat lebih dewasa.

“Selamat pagi, Hye Min…,” sapaku dan membuatnya menoleh sambil tersenyum kecil. Astaga, terdapat tonjolan di bawah matanya. Aku berani bertaruh bahwa ia kurang tidur lagi akibat terlalu memikirkan Junsu. Kutahan amarahku karena melihatnya seperti ini, tanganku meremas ujung pakaianku untuk menahan letusan-ku agar tak tertumpahkan pada gadis dihadapanku ini.

“Donghae…..,” ia melantunkan namaku dengan lirih. Aku pun menoleh dengan seulas senyum yang sedikit kupaksakan.

“Maukah kau mengantarku ke pelabuhan? Junsu pasti senang jika aku pergi kesana…,”

Dheg!! Ternyata ia memanggilku hanya untuk Kim Junsu… hatiku sakit sekali dibuatnya. Mengapa ia berkata begitu padaku seolah tak memikirkan perasaanku yang sangat mencintainya? Kenapa seolah matanya tertutup dan tak bisa melihat maupun merasakan cintaku yang amat menggebu ini?

“Bagaimana, Hae?,” ia menatapku dan menanti reaksiku terhadapnya.

“Baiklah..,” aku menjawab pelan. Memangnya aku memiliki pilihan jawaban apa, selain meng-iyakannya??. Ia pun tersenyum manis, namun aku hanya bisa membalasnya dengan sebuah senyum penuh kegetiran.

Aku segera memacu mobil porsche merahku untuk bergegas kuliah dan mengantar Hye Min pergi ke pelabuhan tempat dulu ia melepas kepergian Junsu. Jujur saja, aku sangat emosi dengan kelakuannya saat ini. Namun apa yang bisa kulakukan, selain menuruti keinginannya? Setelah memacu mobil menjauhi apartemen, kusambar tape dan memutar lagu favoritku. Lagu Love In The Ice milik sebuah boyband lawas menggema lirih didalam mobilku. Dan kini kami diliputi oleh suasana sendu akibat lagu itu saat ini

It’s not your fault, those hands are cold

Clinging into wounds of the past

Afraid to love someone, turning your back againist

The hearts that is hugged, slowly melts like ice

To be love by someone, anyone it can makes life shines

If it was me, i would make your heart once again

Warm with undying love

…………………………….

Kumatikan lagu yang baru sampai dipertengahan jalan itu. Brengsek, kenapa lagu itu sama dengan keadaan kami saat ini??  Namun, aku berharap bahwa akhir ceritaku akan sama dengan lirik lagu tersebut, yaitu hati Hye Min perlahan mencair akibat kehangatan cinta yang aku berikan untuknya, hanya untuknya….

“Donghae, kenapa kau matikan musiknya?,” Hye Min berujar dengan menatap wajahku.

“Kupikir, kau tak suka dengan lagunya…,” aku berusaha membuat alasan kecil sambil melemparkan sebuah senyuman pahit pada gadis di hadapanku ini.

“Donghae, apa kau memiliki koleksi lagu Nat King Cole?,” tiba-tiba Hye Min berujar kembali. Aku sedikit senang, karena tidak biasanya ia berujar banyak padaku.

“Ah, iya.. Kalau kau mau akan kuputarkan..,” jawabku disambut dengan anggukan setuju dari Hye Min. Senyuman manis menghiasi wajahnya.

“Aku mau lagu L-O-V-E..,” ia berujar lagi. Aku pun dengan segera menuruti keinginannya.

Love is all that i can give to you

Love is more than just a game for two

Two in love can make it

Take my heart and don’t break it

Love was made for me and for you

……………………….

……………

Tak kusangka Hye Min menyukai lagu ini. Padahal aku tak begitu menyukainya. Kaset ini adalah pemberian Ki Bum padaku sebagai hadiah ulang tahun dulu. Rupanya sekarang, aku harus mencoba menyukai lagu favorit Hye Min.

“Kau menyukainya, ya?,” tanyaku untuk mencoba menghangatkan suasana sementara lagu Nat King Cole masih mengalun indah menghiasi isi mobilku.

“Ah, tidak.. Tapi Junsu sangat menyukainya. Junsu itu sangat menyebalkan, tapi dia cengeng… koleksinya saja banyak lagu slow seperti ini,”

Dheg… sebuah granat lagi-lagi memporandakan seluruh isi hatiku. Kenapa ia selalu membicarakan Junsu saat bersamaku? Karena emosi, aku mematikan tapenya. Kukeluarkan kaset yang memutar lagu tersebut, setelah itu aku pun membuangnya kebawah dan menginjaknya. Sungguh, saat ini aku tak bisa menahan emosiku yang sudah memuncak hingga ke ubun-ubun. Ingin rasanya aku memarahi dan melampiaskannya pada Hye Min, tapi aku sadar bahwa tindakan itu hanya akan mengacaukan hubungan kami.

“Kenapa kau matikan lagunya?..,” Hye Min bertanya dengan raut wajah polosnya yang makin membuatku emosi.

“Kasetnya rusak!,” jawabku dengan nada tinggi tanpa melepas pandanganku sedikit pun dari jalanan.

Beberapa menit kemudian, mobil Porsche  merah yang kami tumpangi tiba di depan sebuah lokasi yang selama ini dikenal dengan “Pearl harbour”. Pelabuhan yang selalu ramai dan disinilah Hwang Hye Min, ah… Lee Hye Min kehilangan kekasih brengseknya beberapa waktu lalu.

“Turun..!,” ujarku dengan sedikit kasar dan Hye Min pun membuka pintu mobil, ia pun beranjak keluar. Setelah itu, aku memacu mobilku menjauhi pelabuhan dan bergegas menuju universitas tempatku menimba ilmu.

Normal POV

Pagi itu, seorang laki-laki tampan sedang duduk menikmati indahnya suasana pagi di depan Universitas “ELF” yang merupakan sebuah singkatan dari “Elite Level Faculty”. Lelaki berpakaian casual itu berkali-kali memutar matanya dari satu penjuru ke penjuru lain. Tak jarang ia memanyunkan bibirnya saat sebuah kendaraan mendekat dan ia menyadari bahwa itu bukan orang yang dinantinya. Dan akhirnya ketika ia menoleh kearah selatan, lelaki itu mendapati sebuah mobil Porsche berwarna merah yang sangat dikenalnya.

“Donghae…,” ia melambaikan tangan pada mobil yang belum terparkir di halaman universitas. Sontak, si empunya mobil itu langsung turun dan menghampiri sang lelaki dengan wajah yang sangat kusut.

“Ki Bum ….,” pemilik mobil berwajah kusut yang ternyata bernama Donghae itu pun serta merta langsung menghambur ke pelukan lelaki yang sedari tadi menunggunya. Lelaki bernama Ki Bum itu menikmati pelukan yang diberikan Donghae kepadanya. Demi tuhan, ia amat menyukai pria tampan yang tengah berdiri dihadapannya sekarang. Namun, ia sadar. Lee Donghae bukanlah seorang gay sepertinya, sehingga ia sangat rela jika Donghae hanya menganggapnya  sebagai sahabat.

“Hye Min lagi, kan?,” tebak Ki Bum pada Donghae yang perlahan mulai melepas erat pelukannya dari tubuh Ki Bum. Pria itu hanya mengangguk, membenarkan perkataan sahabatnya tadi. Ki Bum hanya menghela nafas panjang. Ia mengenal sahabatnya satu ini, Donghae selalu berangkat kuliah dengan wajah kusut akhir-akhir ini dan Hwang Hye Min ah, Lee Hye Min adalah penyebab utamanya.

“Kau harus berusaha jujur pada dirimu sendiri, Hae..,” ujar Ki Bum saat ia dan Donghae sudah berada dalam mobil Porsche merah dan beranjak meninggalkan universitas, mereka berdua membolos.

“Jujur bagaimana lagi?,” Donghae menghela napas panjang sambil tetap memacu mobil merahnya. Ki Bum menatap sahabatnya itu dengan tatapan khawatir.

“Jujur bahwa kau tidak bahagia bersamanya dan merelakannya….,” Ki Bum memberi nasihat seolah tahu betul tentang apa yang dirasakan Donghae saat ini, dan memang pria ini mengerti bahkan sangat mengerti tentang perasaan pria disebelahnya itu.

“Merelakannya?? Never!,” elak Donghae dengan nada yang sedikit meninggi.

“Aku tahu kau mencintainya. Tapi apa kau harus menyakiti dirimu sendiri seperti ini??  Lihat, tubuhmu jadi semakin kurus.. kantung matamu membesar dan kau juga terlihat sangat lesu,” ujar Ki Bum yang tampaknya amat memperhatikan perubahan-perubahan yang nampak pada diri Donghae.

“Tapi aku mencintainya, Bummie..,” nada bicara Donghae mulai merendah dan terdengar seperti putus asa.

“Tapi dia tidak…,” ujar Ki Bum yang sudah lelah menghadapi Donghae saat ini. Tidak hanya lelah namun juga kasihan… Donghae pun menunduk mendengar ucapan Ki Bum tadi.

OOOOOOOOooooooOOOOOOO

 

Donghae’s POV

Hari sudah semakin siang dan aku rupanya sudah terlalu lama menghabiskan waktu bersama Ki Bum, sahabatku. Untuk saat ini hanya dialah yang mengerti keadaanku. Kuantar dia sampai di depan rumahnya dan lambaian tangannya mengakhiri perjumpaan kami.

Kupacu kembali mobilku untuk pulang ke apartemen. Kulihat awan hitam dari segala penjuru berbaur menjadi satu dan membentuk gumpalan-gumpalan awan hitam yang makin membesar. Dan tepat sesuai prediksiku, hujan turun dengan sangat deras disertai angin yang lumayan kencang.

Beberapa menit kemudian, aku sampai di apartemenku dan dengan cepat kumasukkan mobilku ke garasi. Setelah masuk ke apartemen, aku terkejut tatkala mendapati Hye Min tak ada di dalam. Apalagi saat ini hujan sangat deras dengan angin yang lumayan kencang.

“Yoona, Hye Min belum pulang?,” tanyaku dengan raut kekhawatiran yang mungkin terpampang jelas di wajahku.

“Belum tuan…. Saya kira dia sedang bersama tuan..,” Yoona menunduk. Aku sangat khawatir dengan keadaan Hye Min! Dengan segera, aku pun bergegas menyambar lagi mobil porsche-ku dan memacunya dengan kecepatan tinggi menuju pelabuhan tempat Hye Min berada (masih prediksi-ku).

Hujan deras menghalangi pandanganku. Dua benda di depan kaca mobilku senantiasa menghapus guyuran air hujan yang menghalangi pandanganku, namun sepertinya mereka kurang ampuh untuk menghapus air dan memperjelas pandaganku akan jalanan yang kutempuh saat ini.

“Ya tuhan… Kumohon lindungi isteriku dari segala kemungkinan terburuk yang akan menimpanya…,” begitu doa ku setelah mendengar suara petir saling bersahutan seolah menunjukkan eksistensi mereka.

Tak berapa lama, aku pun sampai di pelabuhan. Kuambil sebuah payung yang kuletakkan di jok belakang kemudian bergegas menuju tempat Hye Min biasa duduk meratapi Junsu. Kuharap dia tidak ada disana dan tengah berteduh! Kulihat lautan manusia berlomba-lomba menerobos derasnya hujan yang dihiasi dengan alunan mengerikan suara petir, mereka hendak mencari tempat untuk berteduh. Namun, kulihat seorang gadis hanya duduk terdiam membiarkan hujan mempermainkan tubuhnya! Gadis itu pasti orang bodoh karena hanya berdiam disaat orang-orang kebingungan mencari perlindungan. Kuhampiri gadis yang duduk diam sambil terus memegang boneka lumba-lumba itu.

“Hye Min, ayo pulang!,” aku menarik tangannya untuk merapatkan tubuh basah kuyubnya kearahku yang saat ini sedang membawa payung. Kulihat dia tengah kedinginan, bibirnya membiru dan bergetar hebat menahan sensasi dingin yang menusuk tulangnya. Sesekali ia membisikkan satu nama : “JUNSU”.

Kami berdua pun sampai di mobilku. Aku pun mempersilahkannya masuk.

“Kenapa kau tidak berteduh?!,” ujarku gusar. Gusar karena melihat Hye Min menyiksa dirinya sendiri untuk Junsu, orang yang sudah mati.

“……………….” ia hanya terdiam sambil memainkan boneka lumba-lumbanya, tak merespon pertanyaanku. Kutarik bonekanya hingga ia menatap mataku.

“……….” kami beradu mata tanpa mengucap sepatah kata pun dan akhirnya Hye Min dan aku sampai di apartemen tampat kami tinggal.

Saat ia masuk dengan basah kuyub, aku memeluk pinggangnya. Membiarkan tubuh kami membaur menjadi satu dan membiarkan pakaianku menjadi basah akibat tubuh Hye Min yang juga basah.

“Kenapa kau membahayakan dirimu sendiri, sayang?,” ujarku sambil mengelus rambutnya yang masih basah, ia menatap mataku dalam-dalam.

“Junsu….,” ia hanya mengucapkan nama itu. Dan itu membuatku semakin panas.

“Kenapa kau terus memikirkan lelaki itu? Dia sudah mati, Hye Min.. Seharusnya kau melupakan dia… Lupakan masa lalumu dan tatap apa yang ada di depanmu! Aku, Hye Min.. Tatap aku! Aku mencintaimu! Lupakan Junsu! Buang dia jauh-jauh dari kehidupanmu…,” aku tak bisa menahan emosiku saat kembali mendengar nama Junsu dari bibir Hye Min. Dan tiba-tiba saja air matanya menetes di tengah tubuhnya sedang basah kuyub.

“Kalau aku bisa, akan kulakukan itu semua! Sayangnya aku tak bisa..,” nada bicara Hye Min menjadi semakin lirih akibat tangisan yang ada ditangannya.

“Kau bisa, Jika kau mau!,” tak bisa lagi kutahan ucapan kasar yang terucap dari mulutku dan mungkin itu sangat menyakitinya. Namun amarah telah menguasaiku dan aku tak sanggup lagi berpikir jernih. Kutinggalkan Hye Min yang masih berdiri mematung dengan tubuh yang basah kuyub. Aku memasuki kamarku dan membanting pintu kamar dengan keras. Aku pun merebahkan tubuhku ke kasur empukku setelah mengganti pakaianku. Kini, perkataan Ki Bum terngiang terus ditelingaku.

 

Ketika duri menancap di tubuhmu,

Lepaskan duri itu

Sebelum ia melumpuhkan urat-urat syarafmu

Dan melukai hatimu

………..

Dan sepertinya aku harus melepaskannya sebelum duri itu benar-benar melumpuhkan urat-urat syarafku dan melukai hatiku….

Normal POV

Keesokan harinya, Donghae berangkat ke universitas pagi-pagi sekali. Ia tak sarapan dan tak berpamitan pada siapapun termasuk Hye Min. Hatinya sudah terlalu sakit dan ia yakin bahwa isterinya takkan mencarinya kemanapun ia pergi.

Keputusan Donghae sudah bulat dan telah dipikirkannya secara matang, ia akan menenangkan diri sejenak dan meninggalkan Hye Min. Tak mampu lagi ia tutupi luka yang menggerogoti hatinya. Sesungguhnya, Lee Donghae adalah manusia biasa yang akan terluka bila terlalu lama dikecewakan. Sepertinya Hye Min telah melakukan hal yang sangat fatal pada Donghae.

Setelah berada di mobilnya dan telah berada di depan bangunan megah yang selama ini ditempatinya, ia turun dan menatap bangunan itu dengan sendu.

“I’ll forget you..,” ia memasuki lagi mobilnya dan memacunya ke suatu tempat.

OOOOOOOOooooooOOOOOOO

Ki Bum tak mendapati Donghae hingga hari sudah beranjak siang dan kelas hukum sudah dimulai. Ia khawatir pada Donghae, namun Ki Bum tahu bahwa sahabatnya itu sedang menenangkan dirinya di suatu tempat. Bagaimana pun juga, ia mengenal Donghae lebih lama dari siapapun.

Ki Bum membolos lagi karena khawatir pada Donghae. Ia menelepon sahabatnya itu dan Donghae hanya menjawab bahwa dirinya baik-baik saja. Ki Bum pun menelepon seorang gadis untuk membicarakan sesuatu tentang Donghae.

“Anyeong… apa? Teman Donghae?,” begitu suara di seberang telepon.

“Aku tunggu di cafe Everlasting sekarang (hayoo ingat ga, cafe siapa ini?),” dengan cepat Ki Bum menutup koneksi teleponnya dan beranjak menuju Cafe Everlasting.

Tak lama Ki Bum menunggu dan Hye Min sudah hadir tepat dihadapannya.

Hye Min’s POV

Teman Donghae mengajakku berbincang di Cafe Everlasting, tempat dimana banyak terdapat kenangan antara aku, Junsu dan Jaejoong. Mataku menerawang setiap sudutnya dan aku masih merasakan hawa Everlasting yang dulu saat aku masih bekerja disini. Ternyata, aku meninggalkan tempat ini lama sekali.

“Aku mau berbicara tentang Donghae..,” teman Donghaae yang bernama Ki Bum itu berbicara secara blak-blakan padaku.

“Ada apa dengannya?,” ujarku pelan sambil menyeruput Frapuccino yang telah kupesan tadi.

“Kau tak tahu bahwa hatinya sedang hancur, sekarang?,” Ki Bum berkata dan menatapku tajam.

“Maksudmu?,” tanyaku bingung.

“Kau mengikatnya dalam kehidupanmu sementara kau sama sekali tak mencintainya. Kau tau bahwa hatinya sangat sakit karena rasa cintanya terhadapmu yang tak terbalas? Kalau kau tak mencintainya, lebih baik lepaskan dia dan biarkan Donghae menjalani kehidupannya dengan normal!,” ujar Ki Bum padaku. Demi tuhan, kata-katanya seolah membangunkanku. Donghae…. aku merasa snagat bersalah karenanya. Donghae yang selalu mencintaiku, Donghae yang selalu mengalah untukku dan Donghae yang selalu memelukku. Aku sadar aku salah telah terlampau memikirkan Junsu.. Aku sadar aku salah membiarkan Junsu selalu membayangiku. Tapi, mangapa aku baru menyadarinya sekarang?

OOOOOOOOooooooOOOOOOO

Percakapan dengan Kim Kibum telah membuka mataku. Aku sadar bahwa tak seharusnya aku menyia-nyiakan cinta yang telah diberikan Donghae padaku. hari sudah gelap dan Donghae belum pulang. Diam-dian aku merasa khawatir dengannya, satu hal yang mungkin baru sekali ini kulakukan. Kutelepon Ki Bum dan dia pun tak tahu kemana perginya suamiku itu. Kutunggu ia dan tanpa sadar aku terlelap.

Keesokan harinya, kudapati Donghae belum pulang. Karena khawatir, aku mencari sosoknya di universitas ELF tempatnya menuntut ilmu. Kutanyakan pada teman-teman jurusan hukumnya namun mereka berkata bahwa Donghae tak masuk selama beberapa hari dan mereka tak tahu ia berada di mana? Oh tuhan, sebenarnya dia kemana? Beratus kali kuhubungi ponselnya namun selalu tak aktif. Aku hampir frustasi karenanya. Kenapa aku harus kehilangan Donghae disaat aku ingin berusaha mencintainya??

Tak terasa hari ini adalah hari kelima dan Donghae belum kembali ke rumah. Aku sengaja tak menghubungi orang tua kami karena takut mereka akan khawatir. Setiap malam, aku selalu menunggunya pulang dan tertidur di sofa kecil yang terletak diruang tamu. Jujur, aku merindukannya. Aku merindukan pelukan dan sentuhannya. Dan tiba di hari keenam, kurasakan panas memancar dari dahiku. Aku demam!

Normal POV

Kenapa kau memilih menyerah,

Disaat gunungan es itu perlahan mulai mencair??

Sudah hampir seminggu dan tak ada tanda-tanda kepulangan dari Donghae. Hye Min sakit karena ulahnya. Namun, Hye Min adalah orang yang pantang menyerah dan mencari-cari keberadaan suaminya itu.

Di suatu malam, Hye Min tetap pada rutinitasnya untuk menunggu Donghae pulang dengan tidur di sofa sementara demam masih menggerayangi tubuhnya. Kedua pembantunya tak kuasa melarangnya.

Hye min tertidur dan dia merasakan kehangatan yang sangat ia kenal. Itu Donghae! Ia sudah kembali…. Donghae menggendong tubuh Hye Min yang masih demam itu ke kamarnya.

“Hae… Kau kambali…,” Hye Min memeluk Donghae saat pria itu menggendongnya.

“Iya…,” Donghae menjawab singkat. Akhirnya kedua anak manusia itu sampai di kamar Hye Min. Donghae dengan lembut mengompres dahi Hye Min yang panas.

“Pabo!,” gerutu Donghae disela-sela aktivitasnya. Setelah selesai mengompres Hye Min, ia beranjak menuju kamarnya sendiri. Namun tiba-tiba sepasang tangan menahannya dan memeluknya dari belakang. Donghae sangat terkejut karena baru kali ini Hye Min melakukan itu padanya.

“Hye… Hye Min…,” ia berujar lirih.

“Terimakasih atas cinta dan perhatianmu selama ini padaku… Aku akan mencoba untuk mencintaimu, suamiku…,” Hye Min berujar sambil menggeliat di punggung Donghae. Tangannya membalik tubuh Donghae sehingga kini mereka berhadapan. Hye Min menempelkan bibirnya pada bibir Donghae. Bibir Donghae terbuka membiarkan lidah Hye Min bermain-main di dalam bibirnya. Sensasi panas menghiasi ciuman mereka. Sensasi panas itu berasal dari deman Hye Min yang juga berpengaruh pada hembusan napasnya. Setelah merasa kebutuhann napas sangat mendesak, mereka berhenti berciuman.

“Saranghaaeyo….,” ujar Donghae pelan.

“Na do..,” balas Hye Min. Kini gadis itu berjanji akan berusaha melupakan bayang-bayang Junsu dan menatap masa depannya, Lee Donghae…

END

SPECIAL THANKS TO MY UMMA~ THANK YOU UMMA! LOVE THIS FIC! ><

Tinggalkan komentar